Jumat, 14 November 2008

HAJI dan IDEOLOGI KEKUASAAN

Tidak sedikit muslim bahkan aktifis Islam, yang bolak balik haji dan umroh (bahkan iktikaf asyrul awakhir bulan Ramadhan di Masjidil Haram), tapi sesampainya di tanah air, watak aslinya tetap muncul, enggan salat berjamaah di Masjid, ambisi kekuasaannya sampai ke ubun-ubun, kehausannya pada kesenangan duniawi mengalahkan kaum kuffar.
Haji adalah salah satu rukun Islam. Dalam hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab, urutannya ada pada yang kelima setelah puasa. Tapi dalam Hadits Ibnu Umar, posisinya ada pada urutan ke empat, sebelum puasa.
Kekhasan haji sebagai ibadah Mahdhah antar lain disebabkan, karena ia menggabungkan dua unsur sekaligus; fisik dan finansial (ibadah jasadiyah wa maaliyah). Berbeda dengan Shalat dan puasa yang hanya melibatkan fisik (ibadah jasadiyah). Juga berbeda dengan zakat yang semata-mata ibadah maaliyah tanpa melibatkan jasad.
Jadi haji memang ibadah yang unik. Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik atau dana saja, tidaklah menjadi jaminan untuk menunaikan haji. Sekian banyak orang sehat, tapi tidak memiliki dukungan maaliyah, begitu juga sebaliknya, akhirnya mereka tidak dapat berhaji.
Juga menarik, satu-satunya rukun Islam yang diambil menjadi nama surat dalam Alqur'an hanyalah haji dengan surat al-haj.
Ada poin essensial dalam haji yang justru banyak dilupakan orang termasuk yang melakukan manasik itu sendiri, yaitu ketergantungan (tidak sekedar keterkaitan) haji dengan Tauhid.
Adalah jarang kita mendengar, dalam pelajaran manasik, masalah haji dan tauhid dibahas. Yang lebih dominan adalah pembahasan haji dari sudut pandang hukum (fiqh), mempersoalkan mana yang rukun, wajib dan sunnat haji?
Umpamanya, bagaimana kalau wudhu' batal di tengah tawaf, karena bersenggolan dengan wanita yang bukan mahramnya, dalam mazhab Syafii. Bagaimana batu yang digunakan untuk melontar Jamrah, bukan dari Muzdalifah, dan persoalan yang sejenisnya.
Padahal, haji mengandung pelajaran penting bagi 'Aqidah seorang Muslim. Seharusnya, yang banyak diperhatikan oleh jamaah haji adalah evaluasi terhadap pemahaman tauhid yang ada pada diri masing-masing. Apakah pemahamannya selama ini tentang syahadat tauhid sudah benar atau belum.
Jika ilmu tentang syahadat sudah ia miliki, bagaimana implementasinya dalam kehidupan? Apakah ilmu itu sudah membuahkan hasil tunduk dan pasrah secara mutlak kepada Allah Swt? Apakah mereka sudah benar-benar mengilahkan (menuhankan) Allah swt atau belum?
Jika ya, niscaya akan terlihat efeknya dalam sepak terjangnya. Bila ia seorang politisi, tentunya ia tidak akan haus jabatan dan pemburu kekuasaan. Jika ia seorang pebisnis, tentu ia tidak menuhankan keuntungan materi.
Jadi pertanyaan-pertanyaan ini perlu dihidupkan terus menerus oleh para jamaah, agar kepergiannya ke tanah haram membuahkan hasil berupa perubahan dalam garis hidupnya. Tanpa melakukan ini, besar kemungkinan tidak ada yang berubah, sehingga setelah ia kembali dari haji, mentalnya sama seperti ketika ia belum berangkat.
Jika ia melakukan korupsi sebelum haji, maka setelah hajipun perbuatan haram itu masih tetap berlanjut. Jika sebelum haji, ia hampir tidak pernah datang ke masjid, maka setelah hajipun ia juga jarang berjamaah ke masjid.
Tidak sedikit muslim bahkan aktifis Islam, yang bolak balik haji dan umroh (bahkan iktikaf asyrul awakhir bulan Ramadhan di Masjidil Haram), tapi sesampainya di tanah air, watak aslinya tetap muncul, enggan salat berjamaah di Masjid, ambisi kekuasaannya sampai ke ubun-ubun, kehausannya pada kesenangan duniawi mengalahkan kaum kuffar.
Manusia semacam ini, jelas mengkhianati iqrar tauhid yang ia ucapkan dalam manasik haji atau umroh.
Sekiranya artikel ini sebagai bahan muhasabah kita, sebagai mahkluk lemah dihadapan Sang Rabb-Nya.
Wallahu'alam.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum warahmatullah Wabarakatuh. Silahkan berkunjung di hakim-abuilyas.blogspot.com menampilkan informasi menarik seputar Da'wah Islamiah.
Wasalam

Anonim mengatakan...

di indonesia haji berarti membedakan status sosial, ..hehehehe.
repotnya orang yg bergelar haji kadang masih banyak melakukan tindakan tdk terpuji-ingkar janji, misalnya-, pantaskah tetap menyandang gelar haji atau gelar'hajingan' ?

-delta6-