Kamis, 27 November 2008

Cermin : Jilbab Jamaah Haji Kita

Kemarin siang, ketika di asrama haji, saya ditegur oleh seseorang yang saya kenal karena telah memberikan jilbab seragam kepada jamaah saya dengan ukuran yang menurutnya tidak wajar. "Sayang jilbabnya, Mbak" Demikian katanya kepada saya.
“Sepulang ke Indonesia mereka tidak akan pakai lagi jilbab itu. Mending pakai yang seperti ini saja. Mereka bisa kenakan ketika pengajian-pengajian.” Katanya sambil menunjuk pada jilbab seseorang yang ada di depannya.
Jilbab yang ditunjuknya berwarna putih dengan ukuran sekitar satu jengkal dari pangkal leher! Ada bordir cantik yang memberi aksen lebih feminin bagi pemakainya. Sangat berbeda dengan jilbab yang kami kenakan. Berwarna, lebar, dan panjangnya hingga menutupi seluruh punggung. Jika melihatnya, kesan pertama yang muncul adalah angker! Seram! “Kalau jilbab seperti ini kan bisa lebih bermanfaat ketimbang jilbab mbak itu” lanjutnya.
Ingin saya mengemukakan argumen mengapa saya memilih warna dan model seperti itu, tapi saya urungkan. Pasalnya, yang menegur saya tersebut adalah seorang ustadzah yang merupakan pembimbing jamaah untuk berhaji dan berumrah. Tentunya ilmu dan pengetahuannya tentang agama jauh lebih tinggi dari saya yang masih anak bawang di dunia perhajian.
Setelah perbincangan tersebut, mata saya justru asyik mengamati macam-macam jilbab yang dikenakan oleh jamaah haji di aula serba guna itu. Ada yang mengunakan jilbab yang modelnya seperti mukena kecil, ada juga yang mengunakan jilbab dengan belahan panjang pada bagian sampingnya, ada juga yang hanya terlihat bagian atasnya saja, karena sebagian yang lain tertutup oleh jas warna seragam haji Indonesia (jilbabnya dimasukkan ke dalam jas), dan lain-lain. Mengenai bahan, ada beberapa yang saya melihatnya terbuat dari bahan yang tipis hingga terlihat rambut hitamnya, ada juga yang bolong-bolong hingga terlihat sedikit kulit lehernya, dan lain-lain.
Kira-kira seperti itulah hasil amatan saya tentang jilbab yang dikenakan oleh kebanyakan jamaah haji kita. Saya hanya bisa mengucap istighfar. Miris rasanya jika melihat jamaah haji kita justru mengutamakan model jilbab ketimbang syariat. Jilbab-jilbab yang dijual di pasaran menurut saya lebih berpihak pada dunia mode ketimbang memenuhi aturan agama. Hatta jilbab yang diperuntukkan untuk haji sekali pun, banyak yang belum memenuhi aturan syariat.
Terbayanglah oleh saya, jamaah yang telah mengeluarkan sekian puluh juta rupiah untuk melaksanakan rukun Islam yang ke-5 itu. Jamaah yang butuh waktu sekian tahun untuk mengantri hingga dapat berangkat ke tanah suci. Sayang sekali, jika tidak disertai dengan menutup aurat dengan benar. Judulnya saja berjilbab, namun jika tidak menutup hingga ke dada, apakah itu masih dalam kategori menutup aurat dengan benar? Astaghfirullah al adzim..
Lalu, Bagaimana dengan keluarga kita....

2 komentar:

faisal amien mengatakan...

nice posting

Pujo Priyambodo mengatakan...

Mari kita berkomit dikomplek tempat tinggal kita, membuat perubahan dengan yang telah ada dari Kisah diatas. >Kampanye Program Kewanitaan FSW-GIK (Ibu-ibu )<.