Kamis, 02 Juli 2009

Kesadaran

Assalaamu’alaikum wr. wb.
Pada kesempatan ini, saya coba menghadirkan sebuah artikel. maaf kalau kepanjangan isinya. insya Alloh hal ini bisa bermanfaat.

Selamat menikmati.

Punya Hati Tapi Tak Merasa

P
unya mata tapi tak dipakai untuk melihat. Punya telinga tapi tak mau mendengar. Punya lidah tapi tak berani bicara. Mata, telinga, lidah, dan semua organ tubuh kita memang penting, tapi tak sepenting ‘segumpal daging’ yang jika ia baik, maka semuanya baik, dan jika ia buruk, maka semuanya pun jadi buruk. Itulah hati.

Mata yang baik dipadu dengan hati yang buruk bisa menjadi mangsa pornografi. Telinga yang sehat dengan hati yang jahat adalah modal awal bagi tukang gosip. Lidah yang lancar berbicara namun hatinya keji, waduh entah kerusakan macam apa yang bisa ditimbulkannya!

Hati adalah penentu kualitas diri kita. Orang yang tekun mempelajari agama Islam tak mungkin tidak menyadari pentingnya hati. Begitu seriusnya para ulama mempelajari hati, sehingga muncul istilah ‘menjaga hati’, bahkan ‘penyakit-penyakit hati’ pun dirinci secara mendalam.

Sungguh mengherankan jika kini ada yang bicara tentang dakwah tapi mengabaikan hati. Tidak jauh dari ingatan bagaimana Aa Gym mengingatkan semua orang bahwa manusia takkan bisa menyentuh hati kalau bukan dengan hati juga. Namun Aa Gym yang selalu menggunakan kelembutan hatinya pun ditinggalkan oleh banyak orang hanya karena fitnah. Maka dakwah serapuh apakah yang hendak diciptakan oleh orang-orang yang mengabaikan hati?


Tidaklah mungkin menyeru hati tanpa menggunakan hati. Tidak logis berdakwah tanpa mengindahkan perasaan orang lain. Alih-alih membantu orang mendapatkan hidayah, yang sering terjadi justru menimbulkan fitnah terhadap dakwah. Punya hati tapi tak merasa. Inikah dakwah?

Agar Hati tak Berkarat
Senjata yang jarang digunakan akan lebih mudah berkarat. Analogi ‘senjata’ sangat tepat digunakan untuk hati, karena ‘segumpal daging’ inilah yang menentukan baik-buruknya segala amunisi persenjataan yang kita miliki. Semakin tak pernah digunakan, semakin berkarat hati manusia.

Kalau sedang menganalisa situasi sosial, kita dapat dengan mudah sampai pada kesimpulan bahwa manusia pada dasarnya memiliki fitrah yang sama, namun jalan hidupnya berbeda-beda. Keluarganya beda, lingkungannya beda, sekolahnya beda, teman-teman sepergaulannya beda, dan seterusnya, hingga terbentuklah karakter yang berbeda-beda pula.


Kalau kita duduk tenang, saat kepala dan hati sedang dingin, ketika hidup sedang dalam keadaan nyaman, mudah saja memahami hal semacam itu. Tapi nampaknya memang tidak mudah untuk terus berkepala dingin dan berpikiran panjang. Dalam kondisi normal sehari-harinya, kita malah lebih mudah menghakimi orang tanpa mau memahami masalahnya. Kalau berempati, itu sudah lebih bagus, namun sayang tak membantu sama sekali.

Asahlah ketajaman perasaan dengan berhenti mengabaikannya. Jika merasa iba melihat seorang pengemis yang renta, maka ketahuilah bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mendoakannya tidak sampai sepuluh detik. Mendoakan anak yang menangis di pinggir jalan tak perlu waktu lebih dari sepuluh detik juga. Demikian pula mendoakan pedagang kaki lima yang nampak lesu karena dagangannya tak laku, juga tak perlu waktu lebih dari sepuluh detik. Doakanlah dengan yang sederhana-sederhana saja. Umat ini telah salah jalur, dan tak ada yang tak butuh doa dari saudaranya. Maka berikanlah! Pasti Allah mengabulkan!

“Ya Allah, ringankanlah beban mereka.” (3 detik)
“Ya Allah, cukupkanlah kebutuhan mereka.” (4 detik)
“Ya Allah, bahagiakanlah hati mereka.” (3 detik)

Begitu banyak orang yang menunggu-nunggu agar seseorang menyentuh hatinya. Akan tetapi, berapa banyakkah orang yang cukup lembut, sehingga bisa merasakan kebutuhan-kebutuhan mereka?

Maukah menyelamatkan hati ?

wassalaamu’alaikum wr. wb.

6 komentar:

Anonim mengatakan...

wow. jadi inget lagunya BIMBO....
punya hati tak merasa, persis pengembang yg punya hati islami (katanya) tapi tak merasa...huh, gelo pisan euy!!!!

ketua FSW-GIK mengatakan...

semoge pengembang juge punye hati yeh pa yeh...

semoge juge buanyak yang ngaji lagi yeh pa biar mushole kite tambah rame dan dimakmurkan oleh wargenye...siape lagi yeh pa yang memakmurkanye selain kite-kite..

semoge juge bapak-bapak mempunyai SEMANGAT HATI untuk belajar mengaji....

ketua FSW-GIK mengatakan...

pa marboth....
sabtu atau minggu kerje bakthi yeh...
persiapan peresmian muholla...
ngecet pager, ngeramikin tempat wudhu, ngecetin pager tetangga biar kage silau...
ma ngepel.....

Anonim mengatakan...

usulan buat ketua DKM Al Insaan atau pengurusnya:

kalau bisa belajar ngajinya jangan hari2 kerja diganti hari sabtu ato minggu (pas liboer) terserah pagi siang sore ato tengah malam...soalnya hampir 100 % warga GIK (khusus bapak2) adalah pekerja dan habis pulang kerja pada lelah alias capai. Nah, energi utk belajar ngaji jadi tdk ada...

terimakasih

ketua FSW-GIK mengatakan...

ane kmarin pulang jam delapan seperempat malem , dah letih banget, tapi hati punya semanget pengen memakmurkan dan meramaikan mushola dengan pengajian ma bapak-bapak yang lain, meskipun saye dah lama kaga ngaji dan agak lupa tajwid,,,tapi wujud dari niat dan hati yang semangat rasa letih dan berat hati itu hilang ketika kita mendengarkan dan menyimak satu persatu bapak-bapak secara bergiliran belajar melafazkan ayat ayat al quran..

smalem sudah dibicarakan mengenai waktu dan hari yang tepat agar bapak-bapak punya waktu luang untuk belajar mengaji, persoalannya ustadnya tidak punya hari lagi selain senin malam dan kamis malam., tapi tetap pengurus DKM berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu.

Pujo Priyambodo mengatakan...

Dengan keterbatasan waktu Ustadznya, jadi dipilih hari tsb.
Mungkin kita bisa sama-sama mengukur keteguhan kita untuk bisa lebih baik dan menambah perbendaharaan ilmu yang ada.
seperti bpk ketua yang tetap semangat...