Senin, 20 April 2009

SAMPAI KAPAN ?????

SEPERTINYA TAK HENTI-HENTINYA WARGA GIK MENGINGATKAN, MENGINGATKAN DAN TERUS MENGINGATKAN ……

SEPERTINYA TAK HENTI-HENTINYA PENGEMBANG GIK MENGINGKARI, MENGINGKARI DAN TERUS MENGINGKARI ….

ALHAMDULILLAH HANYA DENGAN BERDOA BERSAMA TAHUN LALU TERWUJUDLAH SEBUAH MUSHOLLA……

APA WARGA PERLU BERDOA BERSAMA LAGI UNTUK MENGHANCURKAN PENGEMBANG GIK ???

BENANG KUSUT TELAH PENGEMBANG CIPTAKAN, PADAHAL BENANG MERAHNYA SUDAH TERLIHAT SANGAT JELAS, KELIHATAN TINGGAL DITARIK SAJA PASTI SEMUA PERMASALAHAN TERURAI DAN SELESAI…

GIMANA MAU SELESAI ??? ANTAR DUA DIREKTUR GIK SAJA TIDAK PERNAH MAU AKUR, TIDAK ADA KEBESARAN HATI UNTUK MENYELESAIKAN, TIDAK PERNAH MAU KOMPROMI UNTUK MENYELESAIKAN MASALAH YANG BISA UNTUK DISELESAIKAN…

MALAH DENGAN AROGANSINYA MEREKA SALING LEMPAR MASALAH...

INGAT PAK DIREKTUR WARGA YANG MENJADI KORBAN !!!!

KATA-KATA APALAGI YANG COCOK UNTUK PENGEMBANG GIK???

Jumat, 17 April 2009

Ihsan

Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan, seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril —yang menyamar sebagai seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.” Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.
“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)
Pengertian Ihsan
Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai hal ini.
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. Al-Qashash: 77)
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.
Landasan Syar’i Ihsan
Pertama, Al-Qur`anul Karim
Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.
“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)
“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (QS. Al-Baqarah: 83)
“Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba sahayamu….” (QS. An-Nisaa`: 36)
Kedua, As-Sunnah
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw. menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu menyembelih, sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam bish-shawwab. []

Minggu, 05 April 2009

Nafsu Ingin Menjadi Pemimpin

“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung. (Riwayat Imam Bukhori).
Perbedaan zaman Salafus-sholeh yang paling kentara dengan zaman sekarang, salah satunya dalam ambisi kepemimpinan. Dulu, khususnya zaman sahabat, mereka saling bertolak-tolakan untuk menjadi pemimpin.
Abu Bakar Shiddiq diriwayatkan, sebelum diminta menjadi Khalifah menggantikan Rasulullah mengusulkan agar Umar yang menjadi Khalifah. Alasan beliau karena Umar adalah seorang yang kuat.
Tetapi Umar menolak, dengan mengatakan, kekuatanku akan berfungsi dengan keutamaan yang ada padamu. Lalu Umar membai’ah Abu Bakar dan diikuti oleh sahabat-sahabat lain dari Muhajirin dan Anshor.
Dari dialog ini dapat kita pahami bahwa generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti momok yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin. Tapi di zaman ini, keadaannya sudah berubah jauh.
Orang saling berlomba untuk menjadi pemimpin. Jabatan sudah menjadi tujuan hidup orang banyak. Semua tokoh yang sedang bertarung mengatakan, jika diminta oleh rakyat, saya siap maju. Inilah basa basi mereka. Entah rakyat mana yang meminta dia maju jadi pemimpin. Sebuah kedustaan yang dipakai untuk menutupi ambisi menjadi pemimpin.
Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin, dikarenakan mereka mengetahui konsekuensi dan resiko menjadi pemimpin. Mereka mendengar hadits-hadits Nabi Saw tentang tanggung jawab pemimpin di dunia dan di akhirat. "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya...".
Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad Saw memprediksi hiruk pikuk di akhir zaman soal kekuasaan dan menjelaskan hakikat dari kekuasaan itu. Beliau bersabda seperti dilaporkan oleh Abu Hurairah :
“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung. (Riwayat Imam Bukhori).
Juga Rasulullah Saw memperingatkan mereka yang sedang berkuasa yang lari dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan tidak bekerja untuk kepentingan rakyatnya, dengan sabda beliau : “Siapa yang diberikan Allah kekuasaan mengurus urusan kaum Muslimin, kemudian ia tidak melayani mereka dan keperluan mereka, maka Allah tidak akan memenuhi kebutuhannya.” (Riwayat Abu Daud).
Dan dalam riwayat at-Tirmizi disebutkan : “Tidak ada seorang pemimpin yang menutup pintunya dari orang-orang yang memerlukannya dan orang fakir miskin, melainkan Allah juga akan menutup pintu langit dari kebutuhannya dan kemiskinannya.”
Hadits-hadits yang ada lebih banyak menggambarkan pahitnya menjadi pemimpin ketimbang manisnya. Sedang mereka adalah generasi yang lebih mengutamakan kesenangan ukhrowi daripada kenikmatan duniawi. Itulah yang dapat ditangkap dari keberatan mereka.
Sementara orang yang hidup di zaman ini berfikir terbalik. Yang mereka kejar adalah kesenangan duniawi yang didapat melalui jabatan dan kekuasaan. Mereka lupa dengan pertanggung jawaban di hari Kiamat itu. Mereka tidak segan-segan bermanuver dan merekayasa untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan itu.
Kadangkala cara yang dipakai sudah hampir sama dengan cara kaum kuffar atau kaum sekuler, menghancurkan nilai-nilai akhlak Islam yang sangat fundamental; mencari dan mengumpulkan kelemahan lawan politik dan pada waktunya aib-aib itu dibeberkan untuk mengganjal jalan kompetitornya.
Ada pula yang mengumpulkan dana dengan cara-cara yang tak pantas dan tak bermoral. Mendukung calon kepala daerah dalam pilkada dari partai mana saja, asal dengan imbalan materi dengan menyerahkan uang yang besar. Terserah orang itu menang atau kalah nanti, tak begitu penting, yang penting uangnya sudah didapat.
Para pemburu kekuasaan itu beralasan, jika kepemimpinan itu tidak direbut, maka ia akan dipegang oleh orang-orang Fasik dan tangan tak Amanah, yang akan menyebarkan kemungkaran dan maksiat. Tapi jika ia dipegang oleh orang soleh dan beriman, akan dapat mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat luas. Alasan ini memang indah kedengaran.
Namun kenyataannya, semua yang berebut jabatan mengklaim bahwa ia lebih baik dari yang sedang memimpin. Dan tidak ada yang dapat memberi jaminan bahwa jika ia memimpin, keadaan akan menjadi lebih baik.
Bahkan rata-rata orang pandai berteriak sebelum menjadi pemimpin, tetapi setelah masuk ke dalam sistem, mereka tak bisa berbuat banyak. Akhirnya mengikuti gaya orang sekuler. Yang mencoba bertahan dengan idealisme, mendapat serangan dan kecaman dari berbagai pihak, lalu akhirnya menyerah kepada keadaan.
Berapa banyak mantan aktifis mahasiswa yang sebelumnya kritis dan berdemo menentang rezim masa lalu, tetapi sesudah masuk ke dalam sistem, tidak bisa merubah apa-apa, bahkan menggunakan cara-cara yang dipakai oleh rezim sebelumnya, memanfaatkan jabatan untuk menimbun uang dan kekayaan.
Kemudian merekapun menyiapkan alasan-alasan pembelaan; antara lain, merubah sesuatu tak bisa sekejap mata, tetapi harus bertahap, menilai sesuatu tak boleh hitam-putih, apa yang ada sekarang sudah lebih baik dari masa sebelumnya.
Keadaan seperti ini semakin memperkuat keyakinan sebagian orang, bahwa memperbaiki sistem tidak harus masuk terjun ke dalam sistem itu. Bahkan tak mungkin melakukan perubahan selama kita ada di dalam. Sebuah logika terbalik dari slogan yang digembar gemborkan pihak lain, yang kalau mau merubah sistem, harus terjun ke dalam sistem itu. Ternyata kebanyakan yang pernah terjun ke dalam sistem, tidak mampu merubah kerusakan yang ada. Bukan sekedar tak mampu membersihkan, justru ikut terkena kotoran.
Memang ada sebagian yang masuk ke dalam sistem dengan cara yang sah, lalu berjuang di dalamnya dengan penuh resiko, mencoba melakukan perubahan dan bertahan dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Mereka ini biasanya kalau tak tersingkir, dimusuhi atau makan hati.
Gerakan Islam sebenarnya lebih besar dari sekadar Partai Politik yang dibatasi oleh aturan-aturan formal, aturan main, dan bahkan ideologi kebangsaan. Gerakan Islam berjuang untuk jangka waktu yang tak terbatas, hingga Islam itu tegak berdiri dengan kokoh. Lingkup kerjanya juga tidak hanya menyangkut soal-soal politik.
Ketika gerakan Islam menjadi partai politik, sebenarnya ia sedang dipasung dan dihadapkan pada agenda kacangan yang didiktekan kepadanya yang bukan menjadi agenda utamanya. Bahkan kesibukannya mengurusi soal-soal politik hanyalah pembelokan dari target utama dan juga pemborosan energi yang tak setimpal dengan hasil yang dicapainya. Ibarat membayar dengan harga emas untuk membeli besi.
Betapa sayangnya seorang yang sudah tiga puluh tahun malang melintang dalam gerakan Islam, ujung-ujungnya hanya menjadi tukang lobi kesana-kemari untuk memperjuangkan kursi alias kekuasaan. Sungguh menyedihkan. Yang diperjuangkan oleh gerakan Islam adalah sebuah agenda besar yang mendunia (Ustaziyyatul ‘Alam), bukan agenda lokal dan sektor sempit dan terbatas.
Lalu di sini mungkin pertanyaan akan muncul, apakah urusan lokal yang berujung pada kemaslahtan ummat Islam itu diabaikan? Jawabannya jelas tidak. Akan tetapi biarlah masalah-masalah lokal dan sektoral itu diurusi oleh anak-anak ummat yang mempunyai kualitas lokal.
Adapun gerakan Islam yang sudah mendunia haruslah bekerja sesuai dengan kapasitasnya. Tak pantas pemuda-pemuda gerakan diminta mengurus pilkada, pemilu, menempel-nempel poster, apalagi bertarung dengan orang-orang yang tak sekapasitas dengannya.
Gerakan Islam sekali lagi harusnya mengurusi hal-hal yang lebih besar, lebih strategis, yakni pembinaan ummat, membangun generasi intelek dan beriman, mengarahkan pemikiran ummat kepada cara berpikir yang Islami setelah mengalami degradasi. Anak-anak gerakan yang tak naik kelas bolehlah dipersilahkan terjun ke dunia politik praktis. Karena sampai di situlah mungkin batas kemampuannya.
Ada hikmahnya kenapa Allah swt tidak mengizinkan gerakan Islam di negeri induknya berkecimpung dalam politik praktis secara besar-besaran. Karena hal itu akan membuat mereka lalai dari perjuangan utama. Target utamanya bukan untuk mendapat kursi Perdana Menteri, atau bahkan Presiden sekalipun, tetapi untuk menjadi qiyadah fikriyah bagi pergerakan Islam sedunia.
Andaikan peluang lokal itu terbuka, niscaya mereka akan sibuk dengan masalah-masalah parsial di lapangan sementara tugas mereka jauh lebih kompleks dari membenahi sebuah negara yang masyarakatnya sudah rusak secara ideologis, moral dan perasaan.
Tugas Gerakan Islam lebih besar dari membersihkan korupsi, ketimpangan ekonomi, ketidak merataan pembangunan. Tugas mereka adalah mengembalikan penyembahan kepada Allah setelah mengalami degradasi dengan menuhankan manusia dan Tuhan-tuhan lainnya. (Ikhrojun Naas min Ibadatil Ibad ilaa Ibadatil Robbil Ibaad).